Rabu, 30 April 2008
Buruh Juga Manusia
Banyak media yang memberitakan tentang buruh, mulai dari masalah PHK hingga penyiksaan PRT (bc: pembantu rumah tangga). Bulu kuduk saya langsung merinding begitu menyaksikan berita-berita itu. Di mana rasa kemanusiaan itu? Di mana nurani mereka? Coba bayangkan jika yang mengalami hal itu adalah anak dan istri anda atau saudara anda. Bagaimana perasaan kalian sebagai manusia yang punya perasaan?! Kecuali kalau memang anda tak punya hati, atau jika hati anda sudah diganti dengan hati batu.
Cobalah untuk menghargai buruh ataupun PRT. Berikan mereka waktu untuk istirahat dan bersenda gurau bersama keluarga. Kalaupun anda memiliki pembantu jangan pernah menganggap mereka sebagai pembantu tapi anggaplah mereka sebagai saudara. Selama anda bisa mengerjakan sesuatu sendiri, maka kerjakanlah sendiri. Jangan biasakan anda ataupun anggota keluarga anda untuk berteriak memanggil nama pembantu, jika tidak benar-benar terpaksa. Ajarilah anak-anak anda untuk menghormati pembantu. Panggillah dengan panggilan yang sopan.
jasmine
Ku Cari Keadilan Itu
Aku mencari keadilan
Di laci-laci meja
Di tempat tidur
Di dapur
Di kamar mandi
Aku mencari keadilan
Di jalan raya
Di gang-gang sempit
Di lorong-lorong gelap
Di sepanjang selokan
Aku mencari keadilan
Di ruang-ruang kampus
Di setiap lembar buku yang ku baca
Di stasiun
Di terminal
Bahkan di gedung-gedung pemerintah
Tapi aku tak melihatnya
Matakukah yang rabun?
Apakah nurani yang mati rasa?
Ataukah memang dia sudah mati?
Kampus Tua
lolong anjing
Perempuan duduk menyendiri, termenung di bawah pohon waru. Di tepi danau, dekat hutan. Ia terus menatap bayangannya. Mereka berdialog dengan mata, dengan hati. Tak ada suara. Sunyi. Hanya bunyi tonggeret di pepohonan yang sesekali menimbulkan suasana mencekam. “Krieet...krieet...” suara pohon-pohon bambu yang bersentuhan tertiup angin, bagai alunan musik alam yang menemani mereka. Perempuan larut dalam lamunannya. Perempuan sangat menyukai tempat itu. Karena hanya di danau itulah ia merasakan ketenangan, kasejukan, kedamaian. Tak seorang pun yang dapat mengusik keberadaan perempuan di danau itu. Belaian angin membawanya hingga ke alam bawah sadar.
***
Hampir setiap hari Perempuan menemui bayangannya di danau itu. Sekedar berbagi peluh, keluh, dan tangis. Hanya kepada bayangan ia curahkan kecemasan, keresahan, kekesalan, dan segala yang mengganjal dalam hati. Keresahan yang berkecamuk dalam dada. Ya, keresahan yang lebih tepat disebut sebagai sebuah penyesalan. Sebenarnya ia malu pada bayangannya, apalagi terhadap tetangga dan orang-orang di sekitarnya. Kadang Perempuan juga merasa iri pada bayangannya, karena nasib bayangan pun tak seburuk nasibnya. Namun semua terjadi begitu saja. Nasib Perempuan sudah menjadi ketentuan Yang Di Atas. Bukan salah Perempuan, jika ia harus mengandung benih kotor dan melahirkan anjing-anjing liar yang rakus.
***
Perempuan adalah seorang gadis lugu yang tak tahu tentang urusan ambisi, birokrasi, otoritas dan tetek bengek hal lainnya. Yang ia tahu saat itu hanyalah bagaimana menjadi seorang anak yang membahagiakan hati orang tua. Ia harus menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Dengan dalih agar Perempuan bahagia, agar Perempuan tercukupi segala kebutuhannya, agar Perempuan terjamin hidupnya, agar...Perempuan tak perlu lagi membenamkan kakinya ke dalam lumpur sawah. Bagi orang tua Perempuan, adalah sebuah kebanggaan tersendiri bisa mempunyai menantu pejabat yang kaya raya.
Sejak Perempuan menikah dengan Lelaki penuh ambisi—yang melahirkan kebusukan dan kebobrokan itu—ia harus mulai mengubah hidupnya. Ia harus bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan layaknya istri para pejabat. Ia harus belajar menghadapi orang banyak. Ia juga harus selalu tampil menawan dan terkesan glamour, dengan senyum selalu tersungging di bibirnya. Senyum getir yang harus ia tebarkan saat bertemu dengan para pejabat dan kolega suaminya. Semakin hari pikirannya semakin kalut saja, matanya memancarkan kegelisahan. Hatinya selalu menjerit
“Oh...sampai kapan aku harus hidup dalam kepura-puraan. Sampai kapan aku harus bersandiwara dengan nuraniku... sampai kapan? Sampai kapan Tuhan...?!” Air mata pun meleleh membasahi pipinya. Tapi apalah guna air mata. Itu semua tak kan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
“Aku mohon, suamiku. Hentikan omonganmu tentang ambisi-ambisimu itu. Karena suatu saat mereka akan mencelakakanmu.” Kata Perempuan setengah memohon pada suaminya, suatu hari.
“Ah...diam! Kau tahu apa ha?!” bentak Lelaki dengan nada kasar.
Perempuan terdiam, tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. Ia tak berani membantah.
“Tugasmu hanya mengurus rumah, dan memuaskanku di atas ranjang. Jadi tak usah lah kau urusi pekerjaanku ini.”
“O...jadi selama ini bagimu aku hanyalah pembantu rumah tangga dan alat pemuas nafsu birahimu begitu?!” kata Perempuan dengan hati bersungut-sungut.
“Terserah, yang penting aku sudah memenuhi kewajibanku sebagai suami. Aku sudah memberimu nafkah lahir batin, cukup kan.” Perempuan terdiam, perlahan air matanya mengalir.
“Sudah, tak usah menangis. Kau simpan saja air matamu itu untuk besok. Karena besok aku dapat tugas dari partai untuk mengunjungi korban banjir. Nah, di sana nanti menangislah sepuasmu, supaya mereka percaya kalau kita juga ikut prihatin melihat keadaan mereka.” Kata lelaki sambil berlalu menuju kursi dan menyalakan TV. Perempuan semakin geram dengan suaminya, tapi ia diam saja tak melakukan apa-apa. Sesaat suasana hening. Lelaki terdiam. Duduk di kursi goyang sambil menyalakan rokok. Tersenyum penuh kebanggaan dan kemenangan. Lelaki memonyongkan bibirnya. Menghembuskan asap rokok, sehingga membentuk lingkaran-lingkaran yang membumbung dan memenuhi ruangan berukuran 3x3 itu. Wajah Lelaki tenggelam dalam asap pekat rokok.
***
Bagi Perempuan, rumahnya yang seluas lapangan sepak bola itu sudah semacam tumpukan sampah. Dan makin hari tumpukan itu makin tinggi. Semakin tinggi tumpukan sampah itu semakin tinggi pula tingkat kekhawatiran dan rasa bersalahnya. Khawatir kalau-kalau dia dan anak-anaknya kelak harus menerima karma dari perbuatan suaminya. Ia merasa bersalah karena sebenarnya sebagian isi rumahnya bukanlah haknya, melainkan hak rakyat kecil yang dirampas oleh suaminya. Anehnya, tak ada satu pun makhluk di muka bumi ini yang bisa melihat limbah dalam rumahnya. Barangkali hanya Sang Pencipta yang tahu.
“Rumah Anda sangat asri dan megah. Lihat, begitu banyak hiasan dan angka-angka.” Kata tetangganya suatu hari sambil menatap Perempuan penuh kebanggaan bercampur iri. Lalu menatap mata suaminya.
“Kelak, kau juga harus mampu membawa safir[1] dan angka-angka untukku saat kau pulang bekerja. Agar dunia bisa kita kuasai! Jangan hanya sepotong kejujuran dan selembar keadilan saja yang kau bawa pulang. Bosan aku!” suara tetangga penuh tekanan kepada suaminya, yang berprofesi sebagai hakim itu. Perempuan merasa ngeri melihat tetesan emosi dan ambisi meleleh dari tubuh istri tuan hakim yang mulai membasahi lantai rumahnya.
“Limbah baru lagi” pikir Perempuan.
Tetangganya masih sibuk mengamati seisi ruang tamu. Matanya melirik kesana kemari menjelajahi seisi ruangan. Ia tersenyum sambil mengibas-ngibaskan kipasnya. Lagaknya seperti nyonya besar. Perempuan diam. Membiarkan khayalan wanita empat puluh tahun itu melambung dan pecah tepat di langit-langit rumahnya.
***
Di setiap sudut rumah Perempuan bergelantungan angka-angka gelap, menyerupai sarang laba-laba. Kamar tidurnya juga sesak, penuh tumpukan kesombongan dan dusta yang semakin mengkilap. Tiap hari tumpukan itu menggunung, sehingga Perempuan makin sulit bernapas. Meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga agar rumahnya tidak sesak.
“ Aku tidak butuh angka-angka itu lagi. Tidak !” teriak Perempuan lebih keras.
“Sudah! Aku tidak ingin kau berkata aku harus sadar, tobat. Bosan! Aku bosan mendengar kata-kata itu!” pekik Lelaki lebih keras lagi. Perempuan sendiri heran pada perasaannya. Ia sudah tahu kebobrokan mental suaminya, tapi masih saja ia pelihara cinta itu.
Abu-abu berterbangan, makin tinggi dan membumbung mencium langit. Daun-daun memeluk erat. Cahaya redup rembulan menyelinap dari balik pepohonan. Menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah-celah ventilasi jendela, tanpa permisi. Menyaksikan Perempuan dan Lelaki yang sedang bermain-main dengan birahi masing-masing. Mereka menikmati sepanjang malam dengan berpadu kasih.
Pertarungan mereka membuahkan hasil. Perut Perempuan seperti berisi sesuatu yang mencurigakan. Kehidupan. Ya, kehidupan. Perempuan ngidam! Ia lapar! Ia menginginkan hidangan angka-angka. Lelaki pun semakin rajin membawa pulang sampah-sampah berupa angka-angka gelap, untuk dipersembahkan kepada si jabang bayi.
Sembilan hari lebih sepuluh detik, perut Perempuan mulas luar biasa. Ia menjerit-jerit. Lelaki sibuk memunguti keringat istrinya satu per satu. Keringat berbentuk angka-angka. Lelaki menampungnya dalam karung, koper besar, bahkan almari. Perempuan terus menjerit dan akhirnya si jabang bayi pun lahir. Menyerupai gumpalan bola besar. Perempuan memandangi gumpalan itu dengan mata nanar. Perempuan menendangnya keras-keras. Gumpalan berupa tumpukan angka-angka itu pecah, dan pecahan-pecahannya terus memecah menjadi pecahan-pecahan kecil. Sepertinya, Perempuan berubah jadi Gendari, ibunda Kurawa. Perempuan menjerit. Buru-buru ia membungkus gumpalan-gumpalan itu dengan kasar.
“Tidak! Aku tidak ingin memiliki Kurawa!” teriaknya.
“Jangan kau buang cikal bakal peradaban itu...” Lelaki berteriak.
“Bukan! Mereka bukan cikal bakal peradaban, tapi sampah kotor yang harus dimusnahkan!”
“Aku tidak ingin mengotori negeri ini dengan melahirkan sampah dan Kurawa!” teriak Perempuan lagi.
Dengan sangat cepat gumpalan-gumpalan itu berubah jadi anjing-anjing liar dan rakus. Perempuan memekik. Anjing-anjing itu melolong. Lelaki pun melolong dengan senyum menyeringai. Tubuh perempuan menggigil, badannya seperti diguncang-guncang. Ia mendengar sesuatu. Ya, seperti ada yang memanggil namanya. Perempuan terperanjat. Tenggorokkannya seperti tercekat sesuatu. Ia mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya. Ternyata Si Mbok sudah berdiri di sampingnya.
“Ayo bangun! Sudah hampir magrib. Itu kambing-kambingnya kamu bawa pulang!” perintah Si Mbok.
“Disuruh gembala kambing, malah tidur.” Gerutu Si Mbok.
“Iya mbok maaf, saya salah...” kata Perempuan dengan nada memelas. Perempuan pun pulang masih dengan angan-angan di kepala, tentang kisahnya yang mengerikan itu.
Semarang, 5 Desember ‘07
Nurani sasindo’05
[1] Batu permata berwarna biru tembus pandang.